Cirebon – Keluarga besar civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon bekerjasama dengan Bank Syariah mandiri (BSM) menggelar acara halal bihalal virtual yang dilangsungkan melalui aplikasi Zoom ini bertema “Merawat Kebhinekaan Berbasis Ukhuwwah Pada Era New Normal”. Bertempat di Aula Senat Rektorat kegiatan tersebut dibuka dihadiri oleh Dr. H. Adib M.Ag (Warek I), Dr. H. Saefuddin Zuhri, M.Ag (Warek II), Dr. H. Farihin, M.Pd (Dekan FITK), Dr. Hajam, M.Ag (Dekan FUAD), Sivitas Akademika IAIN Syekh Nurjati Cirebon (virtual) dan perwakilan dari BSM (virtual). Selaku moderator Dr. H. Ahmad Yani, M.Ag didampingi Dr. Budi Manfaat, M.Si. Kegiatan tersebut juga dimeriahkan dengan pembagian doorprize yang berasal dari BSM, Koperasi Harapan Sejahtera dan LPPM kepada peserta yang aktif melakukan pertanyaan. Selasa (16/06)
Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Dr. H. Sumanta Hasyim M.Ag mengatakan, pasca menjalani ibadah puasa selama satu bulan lamanya, umat muslim pun tetap dituntut untuk dapat mengontrol nafsunya. Hal itu dilakukan demi kebahagiaan hidup di dunia, maupun di akhirat. “Perbaikan ini tidak saja hanya dari sisi kesehehatan, tapi juga bisa mengantarkan kita menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga kita semua tidak kebablasan menuruti syahwat kita dan tidak pula mengekang syahawta kita. Namun kita hahrus memenejnya.”
Beliau menambahkan, Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan bahasa yang berbeda. Namun, situasi pandemi ini dapat menyatukan perbedaan tersebut. Pasalnya, berbagai aktivitas gotong-royong untuk membantu sesama masyarakat yang terdampak Covid-19 saat ini tidak terhalang perbedaan tersebut. Tetapi, perbedaan ini dapat menjadi kekuatan yang dapat menyatukan berbagai unsur di masyarakat. “Sekarang kita saling bahu membahu untuk saling tolong menolong. Ini sangat perlu untuk diterapkan dalam bernegara, karena kita mempunyai suku dan bahasa yang beranekaragam. Dan ini bisa dijadikan perluang untuk memperkuat bangsa Indonesia. Karena keberagaman ini adalah sunatullah yang harus dapat memperkuat.” Selain itu, dalam kesempatan ini, dirinya juga mengingatkan kembali nilai-nilai Syekh Nurjati yang namanya kini digunakan kampus tersebut. Syekh Nurjati adalah seorang alim ulama sekaligus guru dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa, khususnya di Cirebon. Bahkan, dalam masa keemasannya, Cirebon dijadikan tempat rujukan untuk menuntut ilmu para santri di Asean. “Nilai-nilai Syekh Nurjati Cirebon harus hidup di lingkungan kampus. Dulu pada masa keemasan Syekh Nurjati ini para santri di Asean ini datang ke Cirebon untuk menuntut ilmu. Setelah Syekh Nurjati meninggal, kemudian dilanjutkan oleh muridnya, yaitu Sunan Gunung Jati. Untuk itu, berbagai aktivitas harus dijadikan tujuan mulia yang harus terus diterapkan di kampus ini.”
Sementara itu, Plt Dirjen Pendis Kemenag RI, Prof. Dr. Phil. H. Kamarudin Amin, M.A mengungkapkan, tema kebhinekaan ini harus terus digelorakan. Pasalnya, kata dia, Indonesia memiliki berbagai macam suku, agama, dan bahasa yang tidak dimiliki negara lain. Bahkan, dengan perbedaan ini, bangsa Indonesia dapat hidup berdampingan. “Tema ini harus terus digelorakan, Indoneisa ini negara yang paling plural. Karakter keberagamaan yang sangat beragam dan demokrasi ini bisa ditemukan di Indonesia dan ini yang harus dipromosikan ke dunia luar. Tema tentang kebhinekaan ini harus terus kita rawat dan dipromosikan ke dunia luar. Dan ini menjadi salah satu tantangan PTKIN di seluruh Indonsia.” Selain itu, menurut beliau, melihat perkembangan zaman, strategi dakwah yang dilakukan pun tidak efektif jika dilakukan dengan cara tradisional. Untuk itu, harus ada strategi khusus agar dakwah ini dapat menyentuh kaum milenial. “Kita juga harus ada strategi dakwah khusus untuk menyentuh kaum milenial. Langkah kita masih panjang untuk menyentuh kaum milenial.”
Beliau menambahkan, bahan bacaan yang dikonsumsi mereka pun kebanyakan bukan dari ahlinya. Pasalnya, para ahli ini sibuk membuat jurnal internasional yang hanya dikonsumsi di kalangan sendiri. Sehingga, hal itu membuat kalangan akademisi ini menjadi eksklusif. “Kita itu punya 35 ribu dosen, 8 ribu doktor, dan 550 profesor. Tapi coba kita lahat bahan bacaan mereka. Jadi bahan bacaan mereka (milenial) ini kebanyakan bukan dari pakarnya. Karena mereka para pakar ini terlalu sibuk untuk membuat jurnal hanya dikonsumsi di kalangan sendiri. Ini membuat kita menjadi eksklusif. Untuk itu, dosen-dosen PTKIN harus terlibat efektif, umat membutuhkan kerja keras kita semua. Agar pengabidannya benar-benar bermanfaat untuk masyarakat dan umat.” (Humas dan Publikasi)