Center for Language dan Literacy Studies (CLLS) Indonesia menggelar kajian bulanan bertajuk SEDASA (Sarasehan dan Diskusi Bahasa) pertama dengan tema melacak konstruksi sejarah dan nasionalisme bahasa Indonesia. Dihelat di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) IAIN Syekh Nurjati Cirebon, diskusi diikuti oleh para peneliti CLLS dan mahasiswa lintas kampus di Cirebon, dengan menghadirkan tiga pakar Bahasa Indonesia. Jumat, (02/08/2019)
Muhsiyana (kordinator Sedasa) menuturkan bahwa tema ini diangkat sebagai bagian dari prosesi merayakan secara ilmiah bulan kemerdekaan Republik Indonesia ke 74. Menurutnya, pada era perjuangan meraih kemerdekaan bahkan hingga saat ini, bisa dibilang bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat pemersatu bangsa ditengah-tengah keberagaman agama, suku, dan ratusan bahasa daerah.
Nurhanna (narasumber / dosen bahasa Indonesia IAIN Syekh Nurjati Cirebon) mengatakan bahwa ada satu informasi historis bahasa Indonesia yang unik. Gagasan lahirnya bahasa ini sesungguhnya muncul sebelum Sumpah Pemuda II tahun 1928. “Dalam bukunya, Kridalaksana menyatakan Fakta bahwa 2 Mei 1926 adalah hari kelahiran bahasa Indonesia, yakni ketika M. Tabrani menyatakan bahwa bahasa bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia”, tuturnya.
Selain itu, Rianto (peneliti CLLS) memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi pemilihan bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan. ‘Mengapa harus bahasa Melayu? Mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda?’. Bahasa Melayu diyakini sebagai lingua franca yang menghubungkan berbagai bangsa (Aceh, Melayu, Cina, Belanda, Jawa) sehingga bahasa ini dirasa tepat digunakan sebagai bahasa persatuan. Populasi penutur bahasa Melayu yang sedikit, hanya sekitar 5% pada saat itu, justru menjadi poin tambahan tersendiri. “Hal ini menjadikan posisi bahasa Melayu netral. Lain halnya bila bahasa Jawa, misalnya, dengan jumlah penutur terbanyak dipilih. Sangat dimungkinkan timbulnya dominasi etnis Jawa yang pada akhirnya berakhir pada ‘kecemburuan’ diantara etnis-etnis bangsa lain”, tegasnya.
Andi Hakim (moderator diskusi) menyatakan bahwa lahirnya bahasa Indonesia ini merupakan fenomena yang sangat unik bila ditinjau dari kacamata linguistik. Lahirnya bahasa Indonesia berbeda dengan kasus bahasa Hebrew, bahasa mati yang dihidupkan kembali ketika negara Israel akan didirikan. Lebih lanjut, beliau memaparkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pidgin atau bahasa yang direkayasa karena pada saat itu belum memiliki penutur asli dan kamus standar. “Bahasa kita baru berkembang menjadi bahasa creol pada tahun1983, 55 tahun setelah ikrar bahasa Indonesia”, ucapnya.
Tantangan terhadap bahasa nasional kita diuraikan oleh Veni Nurpadilah (dosen bahasa Indonesia IAIN Syekh Nurjati Cirebon). Dia menyoroti sikap berbahasa Indonesia positif yang mulai luntur dikalangan masyarakat, terutama di kalangan anak muda. Pergeseran sikap berbahasa ini tampak dalam berbagai hal. Kosa kata ‘gaul’ dan ‘nyeleneh’ yang tidak sesuai dengan aturan bahasa Indonesia muncul dan digunakan secara luas oleh kaum milenial. Sebagai contoh, penggunaan kata serapan bahasa Inggris ‘slow’ yang dimodifikasi oleh milenial Indonesia menjadi ‘woles’. Ini bukan saja menyimpang dari tata baku bahasa Indonesia tetapi juga menyimpang dari bahasa Inggris.
Dinamika perkembangan bahasa ditanggapi positif oleh Rijal Mahdi (dosen bahasa Arab IAIN Syekh Nurjati Cirebon) yang menuturkan bahwa penyerapan kata-kata asing dan penggunaan bahasa campuran merupakan ‘sunnatullah’. Fenomena seperti ini tidak terhindari karena karakteristik bahasa itu sendiri yang selalu ‘dinamis’. Selain itu, era globalisasi juga menuntut agar kita menguasai bahasa internasional agar bisa ‘survive’. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menjanjikan dengan kompensasi finansial yang menggiurkan juga selalu mempersyaratkan penguasaan bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Jadi wajar saja, bila bahasa Indonesia harus berebut eksistensi dengan bahasa-bahasa asing.
Sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan konteksnya sebaiknya digencarkan. Dalam konteks formal, hendaknya kita ajak masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia ragam formal. Hal lain yang bisa dilakukan adalah masing-masing dari kita menjadi ‘buzzer’ yang mempopulerkan istilah-istilah bahasa Indonesia.
Simpulan diskusi disampiakan oleh Andi Hakim (moderator diskusi) bahwa perkembangan bahasa begitu dinamis dan kontekstual. Kita tidak dapat pula menutup diri dari pergaulan internasional, dengan mampu menguasai bahasa asing. Paradigma yang harus dibangun adalah membangun kecintaan terhadap bahasa daerah, pengarusutamaan bahasa Indonesia dan penguasaan terhadap bahasa asing. Ketiganya harus berjalan sinergis dan setara tanpa perlu mendiskreditkan salah satu diantaranya. “Bila bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak digunakan dalam setiap domain kehidupan masyarakatnya, baik keluarga, pendidikan, budaya, perekonoman dan kehidupan sosial, lantas apa kabar dengan bahasa daerah?”, tutupnya.