IAIN Cirebon (Semarang) —Delegasi Malaysia dalam perhelatan Annual International Conference in Islamic Studies (AICIS) Prof. Rahimin Afandi bin Abdul Rahim dari University of Malaya kagum atas penyelenggaraan AICIS 2024 di UIN Walisongo, Semarang.
“Kalau di Malaysia, seminar AICIS ini dianggap sebagai seminar untuk Islamic Study yang paling berprestige (bergengsi),” kata Rahimin.
Berbicara di sesi pleno ketiga yang mengusung topik “Fiqh and Religious Moderation in Global Context” (Fiqih dan Moderasi Beragama dalam Konteks Global) pada Sabtu (3/2/2024) Prof. Rahimin menyebutkan banyak mahasiswa pascasarjana di Malaysia menggunakan hasil proceeding (penelitian berkelanjutan) AICIS sebagai bahan belajar mereka.
“Hal ini menunjukkan luasnya jangkauan kebermanfaatan makalah hasil penelitian yang berpartisipasi dalam AICIS setiap tahunnya,” ujar Prof Rahimin.
Sesi pleno yang dipandu oleh Prof. Eka Srimulyani, S.Ag., M.A., Ph.D. dihadiri oleh tiga orang pembicara, yaitu; Prof. Madya Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam); Prof. Dr. Kamaruzaman (UIN Ar-Raniry Aceh, Indonesia); dan Prof. Rahimin Afandi bin Abdul Rahim (University of Malaya, Malaysia).
Pada pleno ketiga ini, Rahimin memaparkan tentang maqashid fiqih wasathiyah yang berfokus kepada model aplikatif yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah. Ia mengangkat pembahasan museum religi sebagai contoh penerapan fiqih wasathiyah.
Rahimin menjelaskan bahwa asas pemilihan museum sebagai model aplikatif fiqih wasathiyah adalah Islam mengakui kepentingan ilmu kebudayaan dalam kehidupan.
“Faith museum (museum kepercayaan) perlu dihasilkan untuk menyelamatkan Islam dari tuduhan ekstremisme,” jelas Rahimin.
Sementara itu, Kamaruzaman dari UIN Ar Raniry Banda Aceh mengangkat bahasan terkait moderasi beragama pada dunia digital.
Sosok yang juga Presiden Asian Muslim Action Network (AMAN) ini mengatakan bahwa dunia digital memengaruhi perubahan cara berpikir manusia di masa depan.
“Ada dua cara berpikir, pertama fast (cepat), intuitive (berdasarkan intuisi), dan emotional (bersifat emosional). Yang kedua orang yang slow (santai) dan sangat logis).” jelas Kamaruzzaman.
Ia menjelaskan bahwa orang yang berpikir dengan cara yang pertama cenderung kesulitan menerima konsep moderasi beragama dan akan menciptakan cara beragama yang agresif. Sementara orang dengan pola pikir yang kedua akan cenderung toleran dan bijaksana dalam menghadapi perbedaan. Era digital lambat laun menggiring orang-orang untuk meninggalkan cara berpikir kedua (logis dan bijaksana) dan beralih ke cara berpikir pertama (cepat, intuitif, dan emosional).
Pada era digital masa depan, akan banyak perubahan kebiasaan yang terjadi dalam proses transfer ilmu agama karena pengaruh kemajuan teknologi.
Pembahasan lainnya disampaikan oleh Prof. Madya Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni dari Brunei Darussalam. Ia menyampaikan paparan terkait maqashid aqidah dalam bahasa arab. Maqashid aqidah berfokus pada kajian teologis agama Islam.
“Maqashid aqidah menjadi suatu fungsi untuk menghadapi dinamika konflik yang telah menggiring kepada penyesatan dan pengkafiran terhadap golongan lain,” kata Kamaluddin.
Menurutnya kajian maqashid aqidah Islam dapat memberikan pemahaman mendalam tentang esensi ajaran Islam yang mencintai perdamaian.
Ketiga paparan di atas menunjukkan bahwa praktik moderasi beragama dapat dilakukan melalui berbagai sudut pandang keilmuan, tidak terbatas pada sudut pandang agama saja.