Diskusi Seri ke-10 PKSB UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon: Mengupas Pemekaran Maluku Utara, Reformasi, dan Konflik Primordial

UIN Siber Cirebon – Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB) Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon sukses menyelenggarakan diskusi seri ke-10 secara daring melalui Zoom. Dengan tema “Reformasi, Desentralisasi, dan Konflik Primordial dalam Sejarah Pemekaran Provinsi Maluku Utara,” diskusi ini berlangsung pada pukul 13.00–15.00 WIB dan menghadirkan dua narasumber: Misbahuddin, M.Hum., Koordinator Prodi Sejarah Peradaban Islam (SPI) IAIN Ternate, dan Dr. Anwar Sanusi, M.Ag., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Diskusi dipandu oleh Muhamad Sidik, S.Hum., mahasiswa S2 Prodi SPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Rabu, (20/11/2024).

Dalam pembukaan, Dr. Zaenal Masduqi, M.Ag., Direktur PKSB, menegaskan pentingnya diskusi akademis untuk memperluas wawasan sejarah dan budaya, khususnya terkait Indonesia bagian timur. “Diskusi ini menjadi wadah untuk menggali sejarah Maluku yang kaya, termasuk perannya sebagai pusat peradaban Islam Nusantara. Tema ini juga diharapkan membuka pemahaman tentang dinamika pemekaran wilayah yang tak terlepas dari tantangan sosial dan konflik primordial,” ujarnya.

Dinamika Pemekaran Maluku Utara

Dalam paparannya, Misbahuddin, M.Hum., menjelaskan bahwa pemekaran wilayah Maluku menjadi Maluku Utara pada masa reformasi dipengaruhi oleh penerapan desentralisasi melalui UU Otonomi Daerah tahun 1999. “Pemekaran ini memunculkan serangkaian konflik primordial yang menewaskan lebih dari 5.000 jiwa dan mengakibatkan 500.000 orang mengungsi. Konflik tersebut memiliki akar sejarah panjang, termasuk keterlibatan elit lokal yang berjuang mempertahankan pengaruhnya,” ungkapnya.

Ia juga memaparkan adanya dualisme kekuatan lokal, yakni kubu formal yang terdiri dari etnis Makian, Tidore, Bacan, dan Ternate Selatan, serta kubu tradisional yang dipimpin Mudzaffar Sjah, didukung oleh dewan adat Ternate dan Jailolo. Momentum reformasi menjadi pintu masuk bagi perebutan kekuasaan baru, yang memicu ketegangan sosial dan politik.

Konflik dan Transformasi Sosial

Sementara itu, Dr. Anwar Sanusi, M.Ag., menyatakan bahwa konflik primordial sering kali dipicu oleh ketidaksiapan masyarakat menghadapi perubahan besar. “Pemekaran wilayah merupakan bentuk transformasi sosial-kultural yang menuntut adaptasi. Tidak semua pihak siap dengan perubahan ini, sehingga wajar terjadi resistensi yang memicu konflik,” jelasnya.

Ia membandingkan situasi tersebut dengan tantangan yang dihadapi Rasulullah SAW saat membawa transformasi di awal Islam. “Dalam sejarah, transformasi besar sering kali melahirkan tantangan dan pertentangan, baik dari pihak internal maupun eksternal,” tambahnya.

Perspektif Pascakonflik

Dalam sesi tanya jawab, Misbahuddin menyoroti peran elit lokal sebagai aktor utama dalam konflik tersebut, bukan semata pertikaian antara pribumi dan pendatang. Ia juga menyinggung adanya stereotip negatif terhadap etnis tertentu yang hingga kini masih membayangi masyarakat.

Namun, ia juga mencatat adanya keengganan para akademisi untuk mendalami konflik tersebut karena trauma masa lalu dan kekhawatiran munculnya konflik baru. “Penelitian yang objektif sangat diperlukan untuk mengungkap akar konflik tanpa memperparah situasi,” tegasnya.

Pentingnya Kajian Sejarah dan Budaya

Diskusi ini menegaskan kembali peran penting akademisi dalam menjembatani pemahaman sejarah dan budaya untuk menghindari pengulangan konflik di masa depan. PKSB melalui diskusi ini berhasil menghadirkan refleksi yang mendalam tentang sejarah Maluku Utara, sekaligus membuka ruang dialog tentang solusi bagi masyarakat yang pernah mengalami konflik serupa.

Dengan konsistensi seperti ini, PKSB UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon terus menjadi pelopor kajian intelektual yang relevan dengan tantangan sosial budaya Indonesia.