Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon bekerjasama dengan Rumah Moderasi Beragama IAIN Syekh Nurjati Cirebon menyelenggaran Internasional Online Seminar for Moderation in Islam Seri I dengan tema “Moderation Perspektive in Understanding the Religious Text and Social Practices”, kegiatan diselenggarakan via zoom di Ruang Senat lantai 2 gedung rektorat kampus setempat. Kegiatan tersebut dibuka oleh Dr. H. Sumanta Hasyim, M.Ag (Rektor), Acara seminar tersebut diisi Menteri Agama Jenderal Purn Fachrul Razi,S.IP., S.H., M.H, Menteri Agama Periode 2014-2019 (Lukman Hakim Saifuddin), pemateri dari Universitas Griffty Australia Adis Duderija, Kepala BPIP RI Prof Yudian, dan Koordinator Nasional Gusdurian Alissa Wahid. Selasa (14/7/2020).
Dr. H. Sumanta Hasyim, M.Ag mengatan, ada alasan yang sangat urgen terkait pelaksanaan semenar ini. Alasan tersebut, yaitu berdasarkan penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2018. Dalam penelitian tersebut, dari 18 kota dan kabupaten di Inonesia, bahwa ancaman radikalisme di kalangan pemuda usia 15 sampai 24 tahun sangat mengkhawatirkan, walaupun sikap moderat masih cukup mewarnai. Kemudian, lanjut dia, berdasarkan hasil peneltian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di kalangan remaja usia 16 sampai 18 tahun bahwa ada fakta literatur generasi milenial yang sangat berminat untuk memiliki akses pada literatur keagamaan. Namun, kata Sumanta, menurut penelitian tersebut masalahnya pada pemilihan topik, yaitu jihad dan khilafah paling banyak diminati. Dan sejumlah fakta lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bersosial, dan beragama yang menjadi tanggungjawab bersama. “Untuk itu, IAIN Syekh Nurjati Cirebon mengambil peran untuk bagaimana bisa mewujudkan moderasi beragama, baik dalam konkes agama maupun perilaku pengamalnya. Itu mengapa kita bisa melaksanakan seminar ini,” (Rektor).
Menteri Agama (Menag) RI, Jenderal Purn Fachrul Razi, S.IP., S.H., M.H mengatakan, merujuk dari beberapa hasil riset, baik dari lembaga peneilitian kampus dan juga Kementerian Agama, bahwa sedang marak sikap intoleransi, ancaman radikalisme, serta efimiesme pada remaja usia 15 sampai 24 tahun. “(Penelitian) UIN Jakarta pada tahun 2018 menunjukan bahwa ada pengamalan agama harus mempunyai kontribusi yang signifikan. Selain itu, semangat keberagamaan yang tinggi tanpa diimbangi ilmu agama yang mendalam pada akhirnya mudah terjebak pada pengamalan agama yang berlebihan.” Sehingga, mereka mudah dipengaruhi oleh orang yang mempunya ilmu keagamaan yang tinggi tapi berpandangan radikal. Karena, dengan dalil agama yang fasih diucapkan oleh mereka-mereka yang meiliki ilmu agama yang tinggi namun berpaham radikal tersebut, akan dapat dengan mudah mengajak anak remaja ini berpaham radikal. “Saya melihat ada dua kutub yang secara diametral bersitegang dan bersebrangan, ada yang terlalu longgar dalam memaknai ajaran agama, yang akhirnya dapat jatuh pada perilaku serba meremehkan ajaran agama atau sering disebut liberal.”
Pada sisi lainnya, ungkap beliau, ada pula yang terlalu rijit, karena berpaku pada ajaran agama semata atau sering disebut dengan tekstual serta melepaskan diri dari konteks. Sehingga terkesan kurang sesuai dengan tantangan atau situasi zaman saat ini. “Mencermati situasi 2 kutub di masyarakat dan mencermati tema webinar ini, menurut saya ini sangat penting sebagai pencerah di masyarakat. Mendialogkan dua kutub tersebut sehingga ada tegur sapa, silaturahim dalam pemikiran yang diharapkan dapat mencapai titik temu dengan upaya diolog yang terus dilakukan.” Untuk itu, menurut dia, hal itulah yang menjadi urgensinya dalam moderasi beragama yang harus terus dikampanyekan. Pasalnya, kata menteri, tanpa seruan moderat, seruan agama tidak akan berjalan efektif. Karena, melalui moderasi, seseorang tidak boleh ekstrim pada masing-masing pandangannya.
Sementara itu, Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin dalam kesempatan itu menjelaskan definisi moderasi. Hal itu dipaparkannya agar persepsi terkait moderasi ini dapat sama. Dia menekankan, yang dimoderasi itu adalah cara beragama, buakan agamanya dan ini yang seringkali disalahpahami. “Memang ada dua hal yang harus dibedakan secara tegas, yaitu ada agama dan ada cara kita memahami dan mengamalkan ajaran agama, jadi itu cara kita beragama. Dua hal yang tentu tidak sama.”
Beliau menegaskan, agama tidak perlu lagi dimoderasi, karena dengan sendirinya agama sudah pas, sesuai, dan proporsional dengan kemanusiaan. Untuk itu, yang menjadi tantangan saat ini adalah cara memahami nilai-nilai esensial yang ada dalam agama itu sendiri, yang kemudian mewujud pada perilaku pada tindakan dan amalan-amalan dari nilai yang dipahami. “Ini yang harus senantiasa dijaga agar kita tidak terjerumus pada pemahaman dan tindakan yang berlebih-lebihan yang ekstrim. Jadi moderasi beragama sesungguhnya adalah ikhtiar, upaya kita bersama untuk senantiasa menjaga dan memelihara agar pemahaman dan pengamalan agama kita itu tidak terjerumus ke dalam tindakan yang berlebih-lebihan yang dikenal dengan istilah ekstrim.”