Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon menggelar Studium General yang dilaksanakan di aula gedung Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jumat (5/7/2019). Dalam Studium General ini, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA dihadirkan sebagai narasumber. Prof. Dr. Dedi Djubaedi, M. Ag (Direktur Program Pascasarjana) dalam sambutannya beliau menyampaikan rasa syukur atas kehadiran Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. “Ini adalah kesempatan yang langka, mengingat narasumber merupakan orang yang memiliki jadwal yang padat bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia internasional”.
Tema Studium General ini yaitu integrasi ilmu dan multikulturalisme, “karena peserta yang saya undang dalam Studium General ini yaitu para guru besar, para dosen dan mahasiswa pascasarjana. Sebagaimana yang kita ketahui visi dan misi pascasarjana ingin menonjolkan multikulturalisme, maka dalam kesempatan ini kita akan mendapatkan penjelasan terkait hal itu”, tambahnya.
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA berbicara mengenai integrasi keilmuan. Dalam filsafat keilmuan ada 3 (tiga) aspek yaitu ontologi, epistemologi, aksiologi. Ontologi untuk menjawab pertanyaan what?. Epistemologi untuk menjawab pertanyaan how?. Aksiologi untuk menjawab pertanyaan for what?.
Pada kesempatan ini narasumber tidak membahas dari keseluruhan tema. Menurut beliau, ilmuwan yang sejati mencicil apa yang ingin dia sampaikan sesuai dengan kemampuan kognitif orang disekitarnya. Beliau mencontoh ulama terdahulu yang tidak semua dalam pikirannya dibongkar ke publik.
Saat membahas tentang ilmu maka seseorang harus berangkat dari skeptisisme atau keragu-raguan. Setelah ragu, seorang ilmuwan akan melakukan percobaan atau penelitan. Dalam epistemologi agama mengatakan bahwa kita yakin dahulu baru melakukan pembuktian, sedangkan dalam epistemologi science di awali keraguan terlebih dahulu.
Beliau mengatakan integrasi kelimuan maksudnya adalah jangan kita memilah dua pendekatan (science dan agama). Tantangan sebagai seorang akademisi harus bisa mengintegrasikan antara epistemologi science dan agama. Hal tersebut sebetulnya tidak berbeda dan tidak berhadapan. “Jangan kita terkurung fanatik dalam satu epistemologi sehingga kita mudah menyalahkan orang lain. Saat seseorang sudah menjadi arif orang tersebut sudah tidak menyalahkan orang lain. Orang arif akan menyelesaikan masalah tanpa mencari kambing hitam”, tandasnya.