Menuju Fikih Haji-Umrah yang Kontekstual, Kritis, dan Transformatif

UIN Siber Cirebon — Pada hari Senin, 4 Agustus 2025, telah dilangsungkan kegiatan bedah buku bertajuk “Rekontekstualisasi Fikih Haji dan Umrah Dari Tradisi Menuju Transformasi Fikih Modern karya Prof. Dr. Achmad Kholiq, M.A. Acara ini merupakan bagian dari Diskusi Reguler Kritis Akademik (Di_REKAM) sesi kedua, yang diselenggarakan secara luring di lantai 2 Gedung Pascasarjana UIN Syekh Nurjati Cirebon, dan dihadiri oleh para dosen, guru besar, serta sejumlah pejabat di lingkungan Pascasarjana.

Kegiatan ini dipandu langsung oleh Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. H. Ilman Nafi’a, M.Ag, yang sekaligus membuka acara dengan menekankan pentingnya literatur fikih yang mampu merespons dinamika sosial, budaya, dan teknologi kontemporer. Dengan suasana akademik yang hangat dan inklusif, beliau mengarahkan jalannya diskusi agar tetap terbuka terhadap ragam perspektif kritis.

Sebagai narasumber utama, Prof. Dr. Achmad Kholiq menjelaskan latar belakang penulisan buku yang dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara fikih haji yang bersifat normatif dengan realitas baru yang kompleks dan dinamis. Beliau menyoroti perlunya pembaruan pendekatan fikih, dari yang semata berbasis teks klasik menuju model yang mempertimbangkan maqāid al-syarī‘ah, keadilan sosial, serta tantangan-tantangan aktual seperti digitalisasi layanan, isu gender, kesehatan, hingga komersialisasi dan tantangan kebijakan. Dengan pendekatan yang kaya dan reflektif, karya Prof. Achmad ini menunjukkan kepedulian akademik Prof. Kholiq terhadap pelaksanaan ibadah dalam konteks modern yang sarat tantangan.

Diskusi berlangsung dinamis dengan hadirnya Prof. Dr. H. Slamet Firdaus, M.Ag. sebagai pembahas. Ia menyoroti bahwa pendekatan maqāid al-syarī‘ah bersifat kondisional dan perlu dilengkapi dengan perspektif sufistik—yang oleh Prof. Achmad disebut sebagai manajemen langit. Menurutnya, haji dan umrah bukan sekadar persoalan teknis-konseptual, melainkan harus dihayati dan diamalkan secara mendalam. Buku fikih pun idealnya ditulis dengan visi jangka panjang, seperti karya ulama yang abadi dan berdampak, bukan sekadar respons sesaat.

Lebih lanjut, Prof. Slamet menekankan bahwa haji sejatinya merupakan sarana transformasi karakter. Namun dalam kenyataan, banyak jamaah gagal menjadikannya sebagai proses penyucian batin. Banyak yang memahami konsep kebaikan, tapi kurang dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini, beliau mengutip sabda Nabi: “Istafti nafsak”—mintalah fatwa pada hatimu sendiri, sebagai pengingat bahwa nurani tetap harus menjadi kompas etis dalam bertindak, melampaui sekadar fatwa formalistik. Sementara itu, Dr. Muhammad Zain, Direktur Pelayanan Haji dalam Negeri (Kementerian Agama RI), menyampaikan bahwa Kemenag sangat terbuka terhadap kontribusi pemikiran akademik dalam bentuk fatwa, riset, dan saran kebijakan demi pengelolaan haji-umrah yang lebih baik dan berkeadilan.

Dalam sesi diskusi, para peserta menyampaikan sejumlah catatan kritis dan masukan konstruktif terhadap isi buku. Salah satunya berkaitan dengan perspektif gender yang dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi pengalaman jamaah secara setara. Dalam pendekatan fikih berbasis maqāid, suara serta pengalaman spiritual laki-laki dan perempuan semestinya menjadi bagian integral dalam perumusan kebijakan dan praktik ibadah. Selain itu, peserta juga menyoroti kurangnya eksplorasi empiris dan data lapangan dalam buku ini. Meskipun penulis menyebut adanya pengalaman empiris, buku ini belum secara eksplisit menyajikan data kuantitatif atau kualitatif seperti hasil survei jamaah, laporan resmi, maupun temuan lapangan yang sebetulnya dapat memperkuat bangunan argumen fikih kontemporer yang diusung. Kritik lain diarahkan pada pendekatan maqāid al-syarī‘ah yang digunakan, yang dinilai masih terbatas pada lima kebutuhan pokok (kulliyyāt al-khams), padahal isu-isu baru seperti if al-bī’ah (perlindungan lingkungan) sangat relevan untuk dimasukkan sebagai maqṣad tambahan, mengingat dampak ekologis yang ditimbulkan dari pelaksanaan ibadah haji dan umrah berskala besar.

Di samping itu, buku ini juga dianggap belum cukup tajam dalam mengkritisi struktur kuasa dan hegemoni otoritas, khususnya dominasi narasi tunggal yang dibangun oleh Kerajaan Saudi dalam praktik ibadah global. Meskipun telah membahas isu komersialisasi dan privatisasi, pendekatan yang digunakan dinilai masih moderat dan cenderung kompromistis terhadap isu-isu sensitif tersebut.Terlepas dari berbagai kritik, diskusi ini juga diwarnai apresiasi dari kalangan akademisi atas keberanian buku ini dalam mengangkat tema-tema aktual dan sensitif, serta mendorong arah baru bagi fikih ibadah yang lebih kontekstual dan inklusif.

Sebagai penutup, diskusi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting yang diharapkan dapat ditindaklanjuti dalam edisi berikutnya maupun dalam bentuk kebijakan seperti penyusunan modul praktis dan simple yang dapat menjawab permasalahan seputar praktik pelaksanaan haji dan umroh sehingga pembaca dapat mengambil manfaat praktisnya, dan buku khusus yang berisi pengalaman spiritual para jama’ah haji dan umroh

Kegiatan bedah buku ini tidak hanya memperkaya khazanah fikih ibadah dalam konteks modern, tetapi juga membuka ruang kolaborasi lintas disiplin untuk merumuskan paradigma fikih yang lebih relevan, solutif, dan membumi. Acara ditutup dengan sesi foto bersama, disertai harapan agar forum-forum semacam ini terus digalakkan sebagai wahana untuk menumbuhkan diskusi dan kajian kritis mengenai berbagai persoalan sosial yang dihadapi masyarakat, pengembangan keilmuan, serta tantangan yang dihadapi dunia kampus—semuanya dalam perspektif Islam yang progresif dan transformatif.

Sumber: Andari