Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon menggelar kegiatan Semarak Akbar 2019 dengan tema ” Manunggal Ing Kawula Gusti” yang digelar di halaman fakultas kampus setempat. Kegiatan kali ini menghadirkan Dr. Ngatawi Al Zhastro (budayawan nasional), Farihin Nurgiri (Sejarawan Muda), dan K.H Abdul Syakur Yasin, M.A. (Pengasuh Ponpes Cadangpinggan, Kabupaten Indramayu). Dr. Anwar Sanusi, M.Ag (Wadek III F-UAD) membuka kegiatan Semarak Akbar 2019 tahun ini dan beliau mengapresiasi kegiatan tersebut. Kegitan tersebut dihadiri mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon khususnya T-SPI, tamu undangan dan masyarakat. Jumat (01/11).
Dr. Ngatawi Al Zhastro (budayawan nasional) sangat mengapresiasi tersebut karena tema yang diusung dalam kegiatan tersebut, yaitu “Manunggal Ing Kawula Gusti” tidak biasa dikaji oleh jurusan SPI. Sehingga, dia menilai, kegiatan ini adalah sebuah loncatan yang sangat luar biasa. Pasalnya, menurut beliau, tema tersebut biasanya dikaji oleh kelompok antropologi terkait sistim kepercayaan masyarakat adat kejawen dan Jurusan Filsafat yang ada di FUAD. Sehingga, kata Zhastro, Manunggal Ing Kawula Gusti dapat disimpulkan adalah sebuah konstruktif sistim kebudayaan yang melekat di nusantara, terutama untuk masyarakat Jawa. Persoalan Manunggal Ing Kawula Gusti bukan semata-mata persoalan antropologis sistem kepercayaan, bukan semata-mata sistem filosofis mistisme dan sufistik. Tapi, Manunggal Ing Kawula Gusti adalah konstruktif sistim kebudayaan yang menjadi lagu hidup bangsa nusantara terutama masyarakat.
Sementara itu,K.H Abdul Syakur Yasin, M.A. (Pengasuh Ponpes Cadangpinggan, Kabupaten Indramayu). Manunggal Ing Kawula Gusti adalah ajaran Syekh Siti Jenar di masyarakat. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya tersebut. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggapnya sebagaia seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Namun, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. Sehingga hal itu memunculkan pertanyaan besar, apakah Syekh Siti Jenar ini ada atau tidak, atau hanya tokoh imajiner saja. Manunggal Ing Kawula Gusti atau istilahnya wahdatul wujud atau fandaisme sehingga banyak dianggap sesat oleh sebagian. Namun ada pula yang menganggapnya sebagai tokoh intelektual, termasuk saya menganggapnya sebagai tokoh intelektual yang telah mendapatkan esensi Islam. Tertuang dalam karya sastranya yang disebut pupuh yang mengajarkan budi pekerti. Mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariat yang dilakukan oleh Walisongo.
Dalam ajaran tersebut, lanjut Buya Syakur, kehidupan ini adalah kematian, sedangkan kematian adalah awal dari kehidupan yang hakiki. Namun, dalam kesempatan ini dirinya tidak untuk menyalahkan atau membenarkan Syekh Siti Jenar. Tetapi dia mencoba memaparkan bahwa perbedaan itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda.