
UIN Siber Cirebon — Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon membuka diskusi reguler perdana dengan penuh antusiasme dan atmosfer keilmuan yang kuat. Mengusung tema reformasi pengelolaan zakat yang adil dan transformatif, forum ini menghadirkan Dr. H. Faqihuddin Abdul Kodir dan Prof. Dr. H. Adang Djumhur sebagai narasumber utama, serta Prof. Dr. H. Waryono Abdul Ghofur (Direktur Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI) sebagai pembedah. Para peserta bertahan hingga acara usai pada pukul 16.30 WIB, melampaui jadwal semula—pertanda besarnya minat terhadap tema yang diangkat.
Dalam forum diskusi tersebut, Dr. H. Faqihuddin Abdul Kodir memaparkan perkembangan pemikiran fiqh zakat dalam tiga pendekatan utama: klasik, kontemporer, dan progresif. Ketiganya menggambarkan dinamika cara pandang umat Islam dalam memahami dan mengelola zakat sesuai konteks zamannya. Pendekatan klasik memandang zakat sebagai ibadah mahdhah—yakni kewajiban ritual yang bersifat tetap dan tidak bisa diubah karena berdasar langsung pada teks suci. Dalam kerangka ini, objek zakat terbatas pada jenis harta tertentu seperti emas, perak, hasil bumi, dan ternak, dengan kadar dan distribusi yang mengacu secara literal pada delapan golongan penerima (asnaf). Fungsi zakat cenderung bersifat simbolik, sementara peran amil atau pengelola zakat dilaksanakan secara administratif oleh lembaga keagamaan atau negara.
Beranjak ke pendekatan kontemporer, zakat mulai dilihat sebagai instrumen sosial dalam sistem ekonomi Islam. Objek zakat diperluas mencakup kekayaan modern seperti uang tunai, hasil profesi, dan aset-aset baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Di sisi kelembagaan, lembaga pengelola zakat mulai diprofesionalisasi, sebagaimana terlihat dalam pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Meskipun lebih terbuka terhadap perkembangan, pendekatan ini dinilai masih terbatas dalam hal keadilan distribusi dan belum sepenuhnya menggali potensi zakat sebagai kekuatan transformasi sosial.
Sementara itu, pendekatan progresif yang ditawarkan Dr. H. Faqih tampil lebih berani dengan melakukan reorientasi menyeluruh terhadap pemahaman dan praktik zakat. Dalam paparannya, Ia menegaskan bahwa zakat tidak boleh berhenti sebagai ritual ibadah yang statis, tetapi harus ditarik menjadi perangkat mu’amalah yang dinamis—yakni sistem distribusi keadilan sosial berbasis nilai-nilai Islam. Ia menantang pembacaan literal atas nash zakat yang selama ini cenderung eksklusif, elitis, dan patriarkal. Sebagai alternatifnya, ia mengajukan tafsir fiqh progresif berbasis maqashid syariah, prinsip mubadalah (kesalingan), dan keadilan substantif yang hidup dalam konteks masyarakat modern.
Dr. H. Faqih menyebut bahwa ketimpangan distribusi zakat hari ini tidak hanya bersumber dari kelembagaan, tetapi juga dari warisan epistemologis yang menyingkirkan perempuan dan kelompok marjinal dari akses terhadap hak-haknya. Ia mengkritik sistem pendataan zakat yang bias terhadap struktur rumah tangga patriarkal, di mana perempuan miskin yang hidup tanpa suami atau dalam relasi yang tidak setara kerap tidak masuk dalam kategori mustahiq. “Kita mewarisi sistem yang menjadikan perempuan sebagai pelengkap, padahal merekalah yang selama ini menopang ekonomi keluarga,” tegasnya.
Lebih lanjut, pendekatan mubadalah yang ia gagas bukan semata strategi feminis, melainkan basis teologis yang bersumber dari nilai rahmah dan kesalingan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam logika mubadalah, perempuan dan laki-laki memiliki peran sejajar dalam menjadi muzakki, amil, maupun mustahiq. Ia menyerukan agar sistem zakat mulai mengadopsi desain kebijakan yang berbasis gender justice budgeting, pelibatan perempuan dalam seluruh rantai kelembagaan zakat, serta rekonstruksi fiqh yang berpihak pada kelompok rentan sebagai wujud nyata ihya’ al-ma’isyah (menghidupkan kehidupan sosial).
Prof. Dr. H. Adang Djumhur memperkuat wacana ini dengan memperkenalkan Fiqh Alternatif Zakat. Gagasan ini berpijak pada keprihatinan atas minimnya efektivitas zakat sebagai instrumen pemberdayaan umat, serta pentingnya reaktualisasi hukum zakat agar lebih berdampak secara sosial dan ekonomi. Prof. Adang menekankan bahwa fiqih alternatif tidak keluar dari koridor syariat, namun melakukan ijtihad baru yang responsif terhadap realitas zaman. Ia mendorong agar zakat tidak hanya didistribusikan secara konsumtif, tetapi dikelola dalam skema pemberdayaan ekonomi, seperti zakat produktif, digitalisasi pengelolaan zakat, dan zakat atas harta modern. Menurutnya, zakat harus diintegrasikan dengan sistem ekonomi nasional melalui sinergi multipihak dan inovasi distribusi, sehingga berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan dan menciptakan keadilan sosial.
Diskusi ini ditutup dengan tanggapan positif dari Prof. Dr. H. Waryono Abdul Ghofur selaku Direktur Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia. Ia menyambut baik gagasan-gagasan progresif yang ditawarkan dalam buku ini dan menyatakan bahwa ide-ide tersebut memberi inspirasi bagi perumusan mekanisme afirmatif dan regulasi baru di tingkat nasional. Ia juga mengakui adanya berbagai pekerjaan rumah besar dalam tata kelola zakat saat ini, terutama terkait dengan minimnya basis data yang valid, terbatasnya perspektif gender, dan tantangan distribusi yang adil.
Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. H. Ilman Nafi’a, M.Ag., turut memberikan apresiasi dan refleksi atas terselenggaranya forum ini. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa diskusi ini merupakan titik awal bagi revitalisasi tradisi akademik di lingkungan pascasarjana. Beliau menyampaikan harapan besar agar kegiatan serupa menjadi agenda rutin dan melibatkan lebih banyak guru besar, peneliti, serta praktisi keilmuan yang bersedia berbagi ide, riset, dan pemikiran visioner. Menurutnya, diskusi-diskusi seperti ini akan menjadi energi baru dalam membangun ekosistem akademik yang dinamis, produktif, dan relevan dengan kebutuhan umat.
Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang intelektual untuk mendalami gagasan pembaruan fiqh zakat, tetapi juga menggerakkan kesadaran kolektif bahwa zakat harus diposisikan sebagai instrumen perubahan sosial yang berpihak pada kelompok rentan dan terpinggirkan. Buku Fiqh Zakat Progresif memberikan pijakan konseptual dan normatif yang kuat untuk mereformasi sistem zakat nasional agar lebih adil, inklusif, dan transformatif. Jika direalisasikan dalam kebijakan dan praktik kelembagaan, gagasan-gagasan ini akan membawa dampak besar dalam memperluas fungsi zakat sebagai denyut nadi keadilan sosial dalam tubuh syariat Islam yang hidup dan relevan di tengah tantangan zaman.
Sumber: Andari