Manajemen Wakaf dan Peranannya pada Perguruan Tinggi terutama di Lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Rektor IAIN SYekh Nurjati Cirebon Dr. H. Sumanta, M.Ag menyampaikan sambutannya pada kegiatan Manajemen Wakaf dan Perannannya pada Perguruan Tinggi yang dilaksanakan di Grage Hotel Cirebon

 

Subbagian Organisasi dan Hukum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon menggelar kegiatan Manajemen Wakaf dan Peranannya pada Perguruan Tinggi di Lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Dr. H. Sumanta, M.Ag (Rektor), Dr. H. Saefudin, M.Ag (Warek I), Dr. Kartimi, M.Pd (Warek II), Drs. Imron Rosyadi, MM, (Kepala Biro AUAK) Drs. Mahmud (Kabag Kepegawaian) diikuti oleh unsur pimpinan di lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan perwakilan dari berbagai lembaga dan unit di lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kegiatan dilaksanakan bertempat di Grage Grand Business Hotel Cirebon dengan memperhatikan Prokes. Selaku narasumber dari Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dr. H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si (Anggota Badan Wakaf Indonesia dan juga Dosen UIN Bandung) dan Senin (11/10)

Dr. H. Tatang Astarudin, S.Ag., S.H., M.Si atas nama Badan Wakaf Indonesia (BWI) mendorong Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon untuk membentuk lembaga wakaf di kampus setempat. Pasalnya, menurut Divisi Pendataan, Sertifikasi, dan Ruislagh BWI, Tatang Astarudin, IAIN Syekh Nurjati Cirebon memiliki potensi yang sangat besar untuk memperoleh dan mengelola dana tersebut.Sehingga, kata dia, jika kampus keagamaan negeri satu-satunya di wilayah III Cirebon ini dapat mengelolanya, maka wakaf tersebut akan menjadi dana abadi yang bisa mendukung visi misi dan kegiatan di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. “Wakaf ini kan sifatnya abadi. Capital expenditure (belanja modal) dalam ekonomi, kalau zakat itu operational expenditure (pengeluaran operasional).

Maka dari itu, ibarat sebuah perusahaan yang hanya memiliki dana operasional saja, maka perusahaan tersebut tidak memiliki modal tetap. Sehingga, dampaknya perusahaan tersebut tidak dapat berjalan dengan stabil. “Kedua-duanya harus ada. Jadi, capital expenditure-nya ada kuat, operational expenditure juga tersedia. Itu bisa kuat dan abadi.” Untuk itu, Beliau menegaskan, dengan dana wakaf ini pihaknya menginginkan dapat terbentuknya suatu sistem ekonomi yang berkeabadian dan keadilan. “Itu yang kita dorong ke IAIN (Syekh Nurjati Cirebon). Secara teori sudah punya, kesadaran sudah ada, tinggal melaksanakan dan melestarikan.

Beliau melihat, potensi wakaf di IAIN Syekh Nurjati Cirebon sangat besar. Hal itu dapat dihitung dari jumlah pegawai, baik pendidik dan kependidikan di kampus setempat, “Misalkan satu orang wakaf Rp10 ribu atau Rp50 ribu saja sesuai tingkat pendapatannya. Tidak harus ujug-ujug langsung besar, dari yang kecil dulu.” Artinya, program wakaf ini dapat berjalan dan dana itu akan abadi. Selanjutnya, dana tersebut dapat dimanfaatkan di sektor riil, seperti untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi yang produktif untuk alumni dan masyarakat. “Sektor finansial itu bisa di deposito dan kalau yang banyak di obligasi saya lihat.”

Beliau memaparkan, yang bisa diberi pembiayaan dari wakaf tunai ini bisa sangat fleksibel. Bahkan, untuk pembagian keuntungan pun sudah ditentukan. Seperti untuk nadzir atau pihak yang menerima wakaf, hanya mendapat 10 persen dari keuntungan yang diperoleh. “Dan 90 persennya untuk masyarakat yang mendapat pembiayaan itu.”

Selain itu, Tatang menerangkan, dana wakaf ini pun bisa digunakan untuk kegiatan pendidikan. Dia mencontohkan kampus-kampus besar yang telah mengelolal dana wakaf untuk kegiatan tersebut. Seperti, kata dia, Al-Azhar, Oxford, dan Stanford yang memiliki dana abadi cukup besar yang digunakan untuk membackup kegiatan-kegiatan kampus, baik untuk beasiswa maupin riset. Ketika disinggung penggunaan dana wakaf dengan rencana transformasi IAIN Syekh Nurjati Cirebon dari Satuan Kerja (Satker) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menjadi Badan Layanan Umum (BLU), Tatang mengungkapkan, dana wakaf ini di luar lembaga pemerintahan. Sehingga, kata dia, sistem pengelolaan dananya pun berbeda. Untuk itu, jika lembaga wakaf ini bagian dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon, maka akan ada sistem akutansi pemerintah yang terkait lembaga keuangan. “Ini di luar lembaga (pemerintahan). Tapi lembaganya (IAIN Syekh Nurjati Cirebon) bisa menggunakan dana yang terkumpul itu.”

Bahkan, Tatang menjelaskan, lembaga wakaf swasta ini pun bisa menjadi pihak yang membackup, membantu, meminjamkan, serta memanfaatkan dana wakaf ini terkait BLU tersebut. “Bisa (untuk BLU), tapi ini dana pihak ketiga, bukan dana negara. Kan nanti ada aturannya, bagi hasilnya berapa. Jadi nanti ada keuntungan untuk lembaga wakaf dan terutama IAIN (Syekh Nurjati Cirebon). Karena ini dari mereka sendiri dan untuk mereka.” Sehingga, masih kata Tatang, dengan cara seperti itu mereka dapat menjaga dana tersebut agar tidak hilang atau rugi.

Nadzir tersebut bisa berupa yayasan atau perorangan. Namun, dengan potensi besar yang dimiliki IAIN Syekh Nurjati Cirebon, pihaknya merasa nadzir tersebut harus berupa yayasan. “Ini surprise, IAIN Syekh Nurjati Cirebon punya kegiatan manajemen wakaf. Ini sebuah rintisan, kesadaran, dan action yang bagus. Political willnya ada, lembaga lama sudah ada, tinggal jalan.”  Setelah itu, jika lembaga wakaf ini sudah resmi terbentuk, maka tinggal melakukan gerakan wakaf di IAIN Syekh Nurjati Cirebon. “Jika lembaga wakaf ini mau menerima lembaha wakaf dari masyarakat, kan bisa lembaga wakaf ini menerima wakaf dari masyarakat. Maka, lemabaga ini harus menjadi nadzir wakaf uang dan mengurus izin dari BWI.”